Seperti yang telah kita ketahui, setiap individu pastilah memiliki karakteristik dan pemikiran mereka masing-masing. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi setiap individu, ketika kedua hal itu dapat diterima dan dihargai oleh orang lain. Dalam hal ini, pembahasan akan lebih difokuskan kepada perkembangan diri peserta didik.
Menurut dramawan Italia abad ke-20, Ugo Betti, saat anak mengatakan ”Aku”, maka yang mereka maksudkan adalah sesuatu yang unik, tidak bercampur dengan yang lain. Psikologi sering menyebut ”aku” ini sebagai ”diri” (self). Ada dua aspek penting dari ”diri” ini, yaitu harga diri (self-esteem) dan identitas diri.
1. Harga Diri (self-esteem)
Harga diri (self-esteem) adalah pandangan keseluruhan diri individu tentang dirinya sendiri. Penghargaan diri juga terkadang dinamakan martabat diri (self-worth) atau gambaran diri (self-image). Menurut Carl Rogers (1961), sebab utama seseorang punya penghargaan diri yang rendah (rendah diri) adalah karena mereka tidak diberi dukungan emosional dan penerimaan sosial yang memadai.
2. Identitas
Erik Erikson (1968) percaya bahwa persoalan paling penting dalam diri remaja adalah perkembangan identitas, yaitu pencarian ”Siapa aku?”, ”Apa yang akan aku lakukan dalam hidup ini?”. Periset Kanada James Marcia (1980, 1998) menganalisa konsep Erikson dan menyimpulkan bahwa adalah penting untuk membedakan antara eksplorasi (pencarian identitas alternatif yang bermakna) dan komitmen (menunjukkan penerimaan personal pada satu identitas dan menerima apa pun implikasi dari identitas itu.
Tidak jarang dijumpai perilaku-perilaku yang tidak mencerminkan diri seorang pendidik. Seperti disaat sekolah dulu, sering terdengar ucapan ”masa gitu aj ga ngerti!, bodoh kali pun kau!!”,bahkan pernah terdengar di telinga saya, ”dimana otakmu??!!!”. Suatu cerminan yang sangat disayangkan, karena perilaku itu muncul dikalangan orang yang berpendidikan . hal-hal seperti ini dapat mempengaruhi pribadi seorang individu, terutama dimasa yang akan datang. Seperti yang telah diterangkan diatas, sebuah teori tetaplah teori yang tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan 100 %. Meskipun demikian, tidak bisa dilakukan 100 % juga bukan berarti tidak bisa dilaksanakan bukan??
Suatu karakteristik pada diri individu, dapat digunakan bagi orang lain khususnya para pengajar, untuk menentukan gaya belajar individu tersebut. Gaya belajar ada 4, yaitu : gaya belajar visual (dominan memanfaatkan indera ”mata”), gaya belajar auditori (dominan memanfaatkan indera ”telinga”), gaya belajar kinestetik (dominan dengan gerakan dan praktek), dan gaya belajar taktual (dominan belajar melalui sentuhan, yaitu indera ”kulit”). Kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada para pendidik bukan hanya kemudahan dalam memahami pelajaran, akan tetapi juga kemudahan dalam mengenal pribadi para peserta didik, agar mampu menemukan gaya belajar yang cocok bagi mereka. Dengan demikian, kedua belah pihak akan saling diuntungkan, dan lebih memaksimalkan rasa kepedulian satu sama lain.
Komunikasi di dalam suatu proses pembelajaran juga sangat penting. Harus ada relasi antara pengajar dan peserta didik, sehingga akan muncul kepedulian dan pengertian diantara kedua belah pihak. Fungsi Pengajar dalam komunikasi terutama dalam proses pembelajaran tidak hanya berfungsi sebagai komunikator, tetapi juga sebagai fasilitator dan motivator yang memberi dorongan semangat para peserta didik.
Sebuah fenomena yang menyakitkan bagi diri individu ketika pilihannya seolah dicemooh oleh orang lain. Demikian halnya bagi diri saya. Ada beberapa kejadian yang mungkin bisa membuktikan fenomena ini. Beberapa teman saya menanyakan dijurusan apa saya sekarang. Dan ketika saya jawab masuk di psikologi, kemudian ada yang menjawab dengan tawanya, ”Psikologi??!! Ini lah ambil! Seratus ribu,, psikologi kan cuma modal kertas aj kan!! Hahahah...”. Dan hal yang lebih menyakitkan adalah, ketika perkataan itu terlontar dari diri seorang pendidik. Seseorang berkata, ”mau jadi psikolog??? Halah... paling-paling jadi guru BP nanti, lagian mana cocok ma kamu...”.. Spontan perkataan-perkataan ini terngiang dalam benak saya. Benarkah sedangkal itu pemikiran mereka?? Bukankah hal itu adalah hal yang ”sakral” untuk dilakukan??
Mungkin perkataan itu hanya sebuah gurauan bagi mereka. Namun, bagi saya, perkataan itu adalah suatu simbol bagi diri mereka. Hal ini mengurangi kepercayaan saya terhadap mereka, terutama pada pengajar tersebut. Seolah perkataan-perkataan itu mengatakan dengan sangat tegas bahwa saya tidak pantas menjadi psikolog. Disaat itu, saya merasa gagal dalam memilih pilihan yang tepat untuk masa depan saya.
Jadi, bersikaplah seolah kita yang mengalaminya. Tidak perduli anda berdiri sebagai apa dan siapa, namun ketika anda memposisikan diri anda sebaik-baiknya, disaat itulah anda menjadi diri anda yang sesungguhnya.
Referensi
§ Santrock, 2008. Psikologi Pendidikan, Jakarta : Kencana
§ Munir,2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bandung : Alfabeta
0 comments:
Posting Komentar